“Bu, saya mau minta maaf Bu.”
Walah, pagi-pagi tampaknya saya mau dikasih informasi jelek oleh ajun rumah tangga saya. Ada apa lagi nih, pikir saya. Wajahnya menyerupai ketakutan akan sesuatu.
“Patungnya Ibu pecah kesenggol sama saya. Nggak sengaja, Bu.”
“Oh, patung yang mana?,” tanya saya sambil menerka-nerka. Dalam hati, lega alasannya yakni yang kenapa-kenapa bukan ajun rumah tangga saya atau lukisan Abenk yang terkena sesuatu.
“Yang itu, Bu.. Yang ada kalungnya.”
Saya mikir sejenak..
“Ohhh.. Iya nggak apa-apa kok, Sri.”
“Tapi Bapak murka nggak, Bu? Takutnya punya Bapak.”
“Nggak, Sri. Itu punya saya kok. Ga apa-apa.”
Sekali lagi, ajun rumah tangga saya meminta maaf. Wajahnya kaget sekaligus lega, alasannya yakni saya tidak murka – bahkan malah bereaksi datar ketika ia memberikan ketidaksengajaannya sehabis menjatuhkan salah satu patung Buddha koleksi saya.
Setelah itu, yang malah saya terlintas di pikiran saya malah sesuatu pelajaran yang dari dulu ingin saya terapkan dalam hidup saya. Saya dulu orangnya pemarah, reaktif, sering ngomel padahal masalahnya sih.. Masalah kecil. Dulu saya bukan tipe orang yang sering bersyukur, banyakan ngeluhnya.
Memang semenjak saya menjalani aktivitas bayi tabung dan menjadi Ibu, aneka macam hal-hal yang berubah dan saya rubah agar hati saya dan hidup saya lebih tenang.
Salah satunya berguru mengontrol emosi.
Saya dapat aja reaktif dengan insiden tadi pagi. Kesal karena salah satu koleksi pajangan saya pecah alasannya yakni ajun rumah tangga gres kerja sebulan di rumah saya. Tapi saya berguru untuk lebih tidak reaktif. Intinya, don’t sweat the small stuff. Bukan dilema ‘belajar lebih cuek’, tapi berguru untuk mengendalikan emosi dan diri.
Tentunya ini tidak tiba begitu saja, tapi butuh proses dan waktu untuk melatih diri sendiri. Kalau teman-teman, apa self-improvement yang sudah dicapai dalam kurun waktu 1-2 bulan terakhir?
No comments: